Minggu, 23 Oktober 2011

Kitab Warisan

KITAB WARISAN

Oleh
Syaikh Abdul Azhim bin Badawi al-Khalafi


Definisi Warisan [1]
Al-farai-dh ( اَلْفَرَائِضُ ) adalah bentuk jamak dari faridhah ( فَرِيْضَةٌ ), sedangkan kata faridhah itu sendiri diambil dari kata al-fardhu اَلْفَرْضُ yang maknanya adalah at-taqdiir ( اَلتَّقْدِرُ ), yang berarti ketentuan.

Allah Ta’ala berfirman:

فَنِصْفُ مَا فَرَضْتُمْ

“Maka bayarlah seperdua dari mahar yang telah kamu tentukan itu.” [Al-Baqarah: 237]

Faradhtum yaitu qaddartum (yang telah kamu tentukan).

Adapun fardhu ( اَلْفَرْضُ ) dalam istilah syara’ adalah bagian yang telah ditentukan bagi ahli waris.

Ancaman Melanggar Hukum Waris
Adalah bangsa Arab di masa Jahiliyah sebelum datangnya Islam, mereka memberikan warisan kepada kaum laki-laki dan tidak memberikannya kepada kaum wanitanya, dan kepada orang-orang dewasa dan tidak memberikannya kepada anak-anak. Ketika Islam datang (maka) Allah memberikan kepada setiap pemilik hak akan haknya, dan Allah menamakan hak-hak ini sebagai washiyyatan minallaah [2]. (Dan) fariidhatan minallaah (ketetapan dari Allah)[3] kemudian Allah mengakhirinya dengan peringatan keras dan ancaman tegas bagi orang yang menyelisihi syari’at Allah dalam hal warisan.

Allah Ta’ala berfirman:

تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ ۚ وَمَن يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ يُدْخِلْهُ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِن تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا ۚ وَذَٰلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ وَمَن يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَيَتَعَدَّ حُدُودَهُ يُدْخِلْهُ نَارًا خَالِدًا فِيهَا وَلَهُ عَذَابٌ مُّهِينٌ

“(Hukum-hukum tersebut) itu adalah ketentuan-ketentuan dari Allah. Barangsiapa yang mentaati Allah dan Rasul-Nya niscaya Allah memasukkannya ke dalam Surga yang mengalir di dalamnya sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan itulah kemenangan yang besar. Dan barangsiapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam Neraka sedang ia kekal di dalamnya; dan baginya siksa yang menghinakan.” [An-Nisaa: 13-14]

Yang Diwarisi Dari Harta Orang Yang Meninggal Dunia
Apabila seseorang meninggal dunia, maka hal pertama yang dimulai dari harta peninggalannya (tarikah) adalah untuk membiayai perawatan mayitnya dan penguburannya, kemudian membayar hutang piutangnya, kemudian menunaikan wasiatnya. Apabila terdapat sisa (dari harta peninggalannya), maka dibagikan kepada ahli warisnya berdasarkan firman Allah Ta’ala:

مِّن بَعْدِ وَصِيَّةٍ تُوصُونَ بِهَا أَوْ دَيْنٍ

“(Yaitu) sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya” [An-Nisaa': 12]

Juga sebagaimana perkataan ‘Ali Radhiyallahu 'anhu :

قَضَى رَسُوْلُ اللهِ j بِالدَّيْنِ قَبْلَ الْوَصِيَّةِ.

“Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam memutuskan (membayar) hutang sebelum (memenuhi) wasiat.” [4]

Sebab-Sebab Menerima Warisan
Sebab-sebab menerima warisan ada tiga:
1. Nasab (Keturunan)
Berdasarkan firman Allah Ta’ala:

وَأُولُو الْأَرْحَامِ بَعْضُهُمْ أَوْلَىٰ بِبَعْضٍ

“...Dan orang-orang yang mempunyai hubungan darah satu sama lain lebih berhak (waris mewarisi)…” [Al-Ahzaab: 6]

2. Wala’ (Memerdekakan Budak)•
Berdasarkan hadits Ibnu ‘Umar Radhiyallahu 'anhuma, dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda:

اَلْوَلاَءُ لَحْمَةٌ كَلَحْمَةِ النَّسْبِ.

“Wala’ adalah (pertalian) daging bagaikan (pertalian) daging karena nasab”[5]

3. Pernikahan
Berdasarkan firman Allah Ta’ala:

وَلَكُمْ نِصْفُ مَا تَرَكَ أَزْوَاجُكُمْ

“Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggal-kan oleh isteri-isterimu...” [An-Nisaa': 12]

Penghalang-Penghalang Menerima Warisan
1. Pembunuhan
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, bahwa beliau bersabda:

اَلْقَاتِلُ لاَ يَرِثُ.

“Orang yang membunuh tidak memperoleh warisan.” [6]

2. Perbedaan Agama
Dari Usamah bin Zaid Radhiyallahu 'anhuma bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

لاَ يَرِثُ الْمُسْلِمُ الْكَافِرَ وَلاَ الْكَافِرُ الْمُسْلِمَ.

“Orang Islam tidak mewarisi harta orang kafir dan orang kafir tidak pula mewarisi harta orang Islam.” [7]

3. Perbudakan
Hal ini karena seorang budak serta apa yang dimilikinya adalah kepunyaan tuannya, maka jika kerabatnya mewarisinya niscaya warisan tersebut bagi tuannya bukan yang lainnya.

Ahli Waris Dari Golongan Laki-Laki
Ahli waris dari golongan laki-laki berjumlah sepuluh orang:
1,2. Anak laki-laki (al-ibn) dan cucu dari anak laki-laki (ibnul ibn) ke bawah (selama dari jalur laki-laki).

Berdasarkan firman Allah Ta’ala:

يُوصِيكُمُ اللَّهُ فِي أَوْلَادِكُمْ ۖ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنثَيَيْنِ

“Allah mensyari’atkan bagimu tentang (pembagian warisan un-tuk) anak-anakmu. Yaitu bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan...” [An-Nisaa: 11]

3,4. Ayah (al-ab) dan kakek (al-jad) ke atas (selama dari jalur laki-laki).
Berdasarkan firman Allah Ta’ala:

وَلِأَبَوَيْهِ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِّنْهُمَا السُّدُسُ

“Dan untuk dua orang ibu bapak, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan.” [An-Nisaa': 11]

Sedangkan kakek (al-jad) adalah ayah juga, oleh karena itulah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

أَنَا ابْنِ عَبْدُ الْمُطَّلِبِ.

“Aku putera ‘Abdul Muththalib”

5,6. Saudara laki-laki (al-akh) dan anak laki-lakinya (ibnul akh) walaupun jauh jaraknya.

Berdasarkan firman Allah Ta’ala:

إِنِ امْرُؤٌ هَلَكَ لَيْسَ لَهُ وَلَدٌ وَلَهُ أُخْتٌ فَلَهَا نِصْفُ مَا تَرَكَ

“... Dan saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara perempuan), jika ia tidak mempunyai anak...” [An-Nisaa': 176]

7,8. Saudara laki-laki ayah (al-‘am atau paman) dan anak laki-laki-nya (ibnul ‘am) walaupun berjauhan.

Berdasarkan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam :

أَلْحِقُوا الْفَرَائِضَ بِأَهْلِهَا فَمَا بَقِيَ فَهُوَ ِلأَوْلَى رَجُلٍ ذَكَرٍ.

“Berikan bagian warisan kepada ahli warisnya, selebihnya adalah milik laki-laki yang paling dekat.” [8]

9. Suami (az-zauj).
Berdasarkan firman Allah Ta’ala:

وَلَهُنَّ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْتُمْ

“Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu...” [An-Nisaa': 12]

10. Budak laki-laki yang telah dimerdekakan (al-maulal mu’taq).
Berdasarkan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam :

اَلْوَلاَءُ لِمَنْ أَعْتَقَ.

“Hak wala’ adalah milik orang yang memerdekakan budaknya.” [9]

Ahli Waris Dari Golongan Wanita
1,2. Anak perempuan (al-bint) dan cucu perempuan dari anak laki-laki (bintul ibn) ke bawah (selama dari jalur laki-laki secara murni).

Berdasarkan firman Allah Ta’ala:

يُوصِيكُمُ اللَّهُ فِي أَوْلَادِكُمْ

“Allah mensyari’atkan bagimu tentang (pembagian warisan untuk) anak-anakmu...” [An-Nisaa': 11]

3,4. Ibu (al-umm) dan nenek (al-jaddah).
Berdasarkan firman Allah Ta’ala:

وَلِأَبَوَيْهِ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِّنْهُمَا السُّدُسُ

“Dan untuk dua orang ibu bapak, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan.” [An-Nisaa': 11]

5. Saudara perempuan (al-ukht).
Berdasarkan firman Allah Ta’ala:

إِنِ امْرُؤٌ هَلَكَ لَيْسَ لَهُ وَلَدٌ وَلَهُ أُخْتٌ فَلَهَا نِصْفُ مَا تَرَكَ

“... Jika seorang meninggal dunia dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya...” [An-Nisaa: 176]

6. Isteri (az-zaujah).
Berdasarkan firman Allah Ta’ala:

وَلَهُنَّ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْتُمْ

“...Para istri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan...” [An-Nisaa: 12]

7. Budak wanita yang telah dimerdekakan (al-maulaah al-mu’-taqah).
Berdasarkan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam:

اَلْوَلاَءُ لِمَنْ أَعْتَقَ.

“Hak wala’ adalah milik orang yang memerdekakan budaknya.” [10]

Orang-Orang Yang Berhak Menerima Tarikah
Orang yang berhak menerima tarikah ada tiga golongan; (1) dzuu fardhin (ahli waris yang mempunyai bagian pasti/tertentu), (2) ‘ashabah (ahli waris yang tidak mendapatkan bagian tertentu) dan (3) rahim (kerabat).

Sedangkan al-furudhul muqaddarah (bagian yang pasti) dalam Kitabullah ada 6 (enam) macam, yaitu: seperdua, seperempat, seperdelapan, dua pertiga, sepertiga, dan seperenam.

• Setengah
Setengah dari harta warisan adalah bagian untuk lima orang berikut:
1. Suami, apabila isterinya yang meninggal tidak memiliki anak (baik laki-laki maupun perempuan).

Berdasarkan firman Allah Ta’ala:

وَلَكُمْ نِصْفُ مَا تَرَكَ أَزْوَاجُكُمْ إِن لَّمْ يَكُن لَّهُنَّ وَلَدٌ

“Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggal-kan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak…” [An-Nisaa': 12]

2. Anak perempuan (al-bint).
Berdasarkan firman Allah Ta’ala:

وَلَهُنَّ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْتُمْ إِن لَّمْ يَكُن لَّكُمْ وَلَدٌ

“...Jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separuh harta...” [An-Nisaa': 11]

3. Cucu perempuan dari anak laki-laki (bintul ibn)• karena ia menempati kedudukan anak perempuan secara Ijma’.

Ibnul Mundzir rahimahullah berkata [11], “Mereka (para ulama) bersepakat bahwa cucu-cucu laki-laki dari anak laki-laki (Banul Ibn) dan cucu-cucu perempuan dari anak laki-laki (Banatul Ibn) menempati kedudukan anak-anak laki-laki dan anak-anak perempuan, yang laki-lakinya seperti (hukum) anak laki-laki dan yang perempuannya seperti (hukum) anak perempuan apabila si mayit tidak memiliki anak dari keturunannya.”

4,5. Saudara perempuan sekandung (ukhtun syaqiqah) dan saudara perempuan seayah (ukhtun li ab).•
Berdasarkan firman Allah Ta’ala

إِنِ امْرُؤٌ هَلَكَ لَيْسَ لَهُ وَلَدٌ وَلَهُ أُخْتٌ فَلَهَا نِصْفُ مَا تَرَكَ ۚ وَهُوَ يَرِثُهَا إِن لَّمْ يَكُن لَّهَا وَلَدٌ ۚ فَإِن كَانَتَا اثْنَتَيْنِ فَلَهُمَا الثُّلُثَانِ مِمَّا تَرَكَ

“... Jika seorang meninggal dunia dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya...” [An-Nisaa: 176]

• Seperempat
Seperempat harta warisan adalah bagian untuk dua orang:
1. Suami, apabila isteri yang meninggal mempunyai anak.
Berdasarkan firman Allah Ta’ala:

فَإِن كَانَ لَهُنَّ وَلَدٌ فَلَكُمُ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْنَ

“Jika isteri-isterimu itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya.” [An-Nisaa': 12]

2. Isteri, apabila suami yang meninggal tidak memiliki anak.
Berdasarkan firman Allah Ta’ala:

وَلَهُنَّ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْتُمْ إِن لَّمْ يَكُن لَّكُمْ وَلَدٌ

“Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak...” [An-Nisaa': 12]

• Seperdelapan
Seperdelapan dari harta warisan adalah bagian hanya untuk satu orang saja, yaitu isteri apabila suami mempunyai anak.

Berdasarkan firman Allah Ta’ala:

فَإِن كَانَ لَكُمْ وَلَدٌ فَلَهُنَّ الثُّمُنُ مِمَّا تَرَكْتُم

“…Jika kamu mempunyai anak, maka para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan…” [An-Ni-saa': 12]

• Dua pertiga
Dua pertiga dari harta warisan adalah bagian untuk empat orang:
1,2. Dua anak perempuan dan dua cucu perempuan dari anak laki-laki.•
Berdasarkan firman Allah Ta’ala:

فَإِن كُنَّ نِسَاءً فَوْقَ اثْنَتَيْنِ فَلَهُنَّ ثُلُثَا مَا تَرَكَ

“...Dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan...” [An-Nisaa': 11]

3,4. Dua saudara perempuan sekandung dan dua saudara perempuan seayah.
Berdasarkan firman Allah Ta’ala:

فَإِن كَانَتَا اثْنَتَيْنِ فَلَهُمَا الثُّلُثَانِ مِمَّا تَرَكَ

“... Tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal...” [An-Nisaa': 176]

• Sepertiga
Sepertiga dari harta warisan adalah bagian untuk dua orang:
1.Ibu (al-umm) jika tidak mahjub (terhalang dari mendapat bagian).
Berdasarkan firman Allah Ta’ala:

فَإِن لَّمْ يَكُن لَّهُ وَلَدٌ وَوَرِثَهُ أَبَوَاهُ فَلِأُمِّهِ الثُّلُثُ

“... Jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga...” [An-Nisaa': 11]

2. Dua orang atau lebih dari saudara seibu baik laki-laki maupun perempuan.•
Berdasarkan firman Allah Ta’ala:

فَإِن كَانُوا أَكْثَرَ مِن ذَٰلِكَ فَهُمْ شُرَكَاءُ فِي الثُّلُثِ

“...Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu...” [An-Nisaa: 12]

• Seperenam
Seperenam harta warisan adalah bagian bagi tujuh orang berikut:
1. Ibu, apabila ia bersama anak si mayit atau beberapa ikhwah (saudara) mayit, baik laki-laki maupun perempuan yang berjumlah dua atau lebih.
Berdasarkan firman Allah Ta’ala:

وَلِأَبَوَيْهِ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِّنْهُمَا السُّدُسُ

“Dan untuk dua orang ibu bapak, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan.” [An-Nisaa': 11]

2. Nenek, ketika yang meninggal dunia tidak memiliki ibu.
Ibnul Mundzir berkata [12], “Mereka (ulama) bersepakat bahwa nenek mendapat bagian seperenam apabila si mayit tidak mempunyai (meninggalkan) ibu.”

3. Seorang dari waladul umm (saudara seibu), baik laki-laki maupun perempuan.•
Berdasarkan firman Allah Ta’ala:

وَإِن كَانَ رَجُلٌ يُورَثُ كَلَالَةً أَوِ امْرَأَةٌ وَلَهُ أَخٌ أَوْ أُخْتٌ فَلِكُلِّ وَاحِدٍ مِّنْهُمَا السُّدُسُ

“...Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta…” [An-Nisaa': 12]

4. Cucu perempuan dari anak laki-laki, apabila ia bersama anak perempuan mayit tunggal.
Berdasarkan hadits Abu Qais, ia berkata, “Aku mendengar Huzail bin Syarhabil berkata, ‘Abu Musa ditanya tentang (masalah) bintun (anak perempuan), bintul ibn (cucu perempuan dari anak laki-laki) dan ukhtun (saudara perempuan), maka ia menjawab, ‘Bintun mendapat seperdua dan Ukhtun mendapat seperdua juga. Temuilah Ibnu Mas’ud niscaya ia akan mengikuti (pendapat)ku.’ Lantas Ibnu Mas’ud ditanya (tentang masalah yang sama) dan diberitahukan kepadanya tentang pendapat Abu Musa, lalu ia berkata, ‘Sungguh aku telah sesat (jika berbuat demikian) dan sekali-kali aku tidak termasuk orang yang mendapatkan petunjuk (jika aku mengikuti pendapatnya). Aku akan putuskan seperti apa yang diputuskan oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Bintun mendapatkan seperdua bagian, bintul ibn mendapatkan seperenam menggenapkan dua pertiga dan sisanya adalah bagian ukhtun.’ Kemudian kami mendatangi Abu Musa dan memberitahukan kepadanya apa yang dikatakan oleh Ibnu Mas’ud, ia pun berkata, ‘Janganlah kalian bertanya kepada-ku selama orang ‘alim ini (Ibnu Mas’ud) masih (hidup) di tengah-tengah kalian.’”[13]

5. Saudara perempuan seayah, apabila bersama saudara perempuan sekandung, menggenapkan dua pertiga diqiyaskan kepada cucu perempuan dari anak laki-laki dengan anak perem-puan yang tunggal.

6. Ayah bersama dengan anak si mayit.
Berdasarkan firman Allah Ta’ala:

وَلِأَبَوَيْهِ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِّنْهُمَا السُّدُسُ مِمَّا تَرَكَ إِن كَانَ لَهُ وَلَدٌ

“...Dan untuk dua orang ibu-bapak, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak...” [An-Nisaa': 11]

7. Kakek, apabila tidak ada ayah.
Ibnul Mundzir berkata [14], “Mereka bersepakat bahwa hukum al-jad (kakek) sama dengan hukum al-ab (ayah).”

[Disalin dari kitab Al-Wajiiz fii Fiqhis Sunnah wal Kitaabil Aziiz, Penulis Syaikh Abdul Azhim bin Badawai al-Khalafi, Edisi Indonesia Panduan Fiqih Lengkap, Penerjemah Team Tashfiyah LIPIA - Jakarta, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir, Cetakan Pertama Ramadhan 1428 - September 2007M]
_______
Footnote
[1]. Fiq-hus Sunnah (III/424)
[2]. An-Nisaa': 12
[3]. QS. An-Nisaa': 11.
[4]. Ibid, hal 410
• Artinya, dengan memerdekakan tersebut ia mendapat hak wala’nya. Jadi jika budak yang dimerdekakan meninggal dan tidak meninggalkan ahli waris, maka hartanya diwarisi oleh orang yang memerdekakannya. Dikutip dari Minhaajul Muslim.-pent.
[5]. Shahih: [Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir (no. 7157)], Mustadrak al-Hakim (IV/ 341), al-Baihaqi (X/292).
[6]. Shahih: [Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir (no. 4436)], [Irwaa-ul Ghaliil (no. 1672)], Sunan at-Tirmidzi (III/288, no. 2192), Sunan Ibni Majah (II/883, no. 2645)
[7]. Muttafaq ‘alaihi: Shahiih al-Bukhari (XII/50, no. 6764), Shahiih Muslim (III/ 1233, no. 1614), Sunan at-Tirmidzi (III/286, no. 2189), Sunan Ibni Majah (II/911, no. 2729), Sunan Abi Dawud (VIII/120, no. 2892).
[8]. Muttafaq ‘alaihi: Shahiih al-Bukhari (VIII/27, no. 4315), Shahiih Muslim (III/ 1400, no. 1776), Sunan at-Tirmidzi (III/117, no. 1738).
[9]. Muttafaq ‘alaihi: Shahiih al-Bukhari (XII/11, no. 6732), Shahiih Muslim (III/ 1233, no. 1615), Sunan at-Tirmidzi (III/283, no. 2179), dan dengan lafazh yang seperti ini diriwayatkan pula dalam Sunan Abi Dawud (VIII/104, no. 2881), Sunan Ibni Majah (II/915, no. 2740).
[10]. Muttafaq ‘alaihi: Shahiih al-Bukhari (I/550, no. 456), Shahiih Muslim (II/1141, no. 1504), Sunan Abi Dawud (X/438, no. 3910), Sunan Ibni Majah (II/842, no. 2521)
• Yaitu jika tidak ada cucu laki-laki dari anak laki-laki.-pent.
[11]. Al-Ijmaa’ (hal. 79).
• Yaitu jika ia menyendiri, tidak ada saudara laki-laki, tidak ada ayah atau tidak ada cucu laki-laki dari anak laki-laki.-pent.
• Yaitu jika tidak ada anak laki-laki atau cucu laki-laki dari anak laki-laki.-pent.
• Yaitu jika orang yang meninggal dunia tidak memiliki bapak atau kakek atau anak laki-laki, atau cucu dari anak laki-laki, baik laki-laki atau perempuan.-pent.
[12]. Al-Ijmaa’ (hal. 84)
• Yaitu jika yang meninggal dunia tidak memiliki ayah, kakek, anak laki-laki, cucu dari anak laki-laki, baik cucu itu laki-laki atau perempuan.-pent.

[13]. Shahih: [Irwaa-ul Ghaliil (no. 1683)], Shahiih al-Bukhari (XII/17, no. 6736), Sunan Abi Dawud (VIII/97, no. 2873), Sunan at-Tirmidzi (III/285, no. 2173), dan kalimat yang terakhir tidak terdapat dalam riwayat keduanya (Abu Da-wud dan at-Tirmidzi)
[14]. Al-Ijma’ (84)

Kitab Wasiat





Kumpulan Ilmu Pengetahuan Dan Hiburan

KITAB WASIAT


Oleh
Syaikh Abdul Azhim bin Badawi al-Khalafi


Kata wasiat diambil dari kata, “ وصيت الشيء أوصيه (aku menyampaikan sesuatu yang dipesankan kepadaku).” Maka, setelah orang yang berwasiat wafat, ia telah menyampaikan apa yang dulu akan disampaikan semasa hidupnya.

Adapun secara syara’ wasiat berarti penyerahan barang, hutang, atau kemanfaatan kepada orang lain agar diberikan kepada orang yang diwasiati setelah orang yang berwasiat meninggal.

Hukum Wasiat
Wasiat wajib bagi orang yang memiliki harta untuk diwasiatkan.

Allah berfirman:

كُتِبَ عَلَيْكُمْ إِذَا حَضَرَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ إِن تَرَكَ خَيْرًا الْوَصِيَّةُ لِلْوَالِدَيْنِ وَالْأَقْرَبِينَ بِالْمَعْرُوفِ ۖ حَقًّا عَلَى الْمُتَّقِينَ

“Diwajibkan atasmu, apabila seorang di antara kamu mendapatkan (tanda-tanda) kematian, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma’ruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa.” [Al-Baqarah 180]

Dan dari ‘Abdillah bin ‘Umar Radhiyallahu anhuma bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

مَا حَقُّ امْرِئٍ مُسْلِمٍ لَهُ شَيْءٌ يُوصِي فِيهِ يَبِيتُ لَيْلَتَيْنِ إِلاَّ وَوَصِيَّتُهُ مَكْتُوبَةٌ عِنْدَهُ.

“Seorang muslim tidak layak memiliki sesuatu yang harus ia wasiatkan, kemudian ia tidur dua malam, kecuali jika wasiat itu tertulis di sampingnya.” [1]

Ukuran Harta Wasiat Yang Disunnahkan
Dari Sa’d bin Abi Waqqash Radhiyallahu 'anhu, ia berkata, “Ketika di Makkah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam datang menjenggukku sementara beliau enggan wafat di tanah yang beliau hijrah darinya, beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

يَرْحَمُ اللهُ ابْنَ عَفْرَاءَ قُلْتُ: يَا رَسُوْلَ اللهِ أُوْصِي بِمَالِي كُلِّهِ قَالَ: لاَ، قُلْتُ: فَالشَّطْرُ؟ قَالَ: لاَ، قُلْتُ: اَلثُّلُثُ، قَالَ: فَالثُّلُثُ، وَالثُّلُثُ كَثِيْرٌ إِنَّكَ أَنْ تَدَعَ وَرَثَتَكَ أَغْنِيَاءَ خَيْرٌ مِنْ أَنْ تَدَعَهُمْ عَالَةً يَتَكَفَّفُونَ النَّاسَ فِي أَيْدِيهِمْ، وَإِنَّكَ مَهْمَا أَنْفَقْتَ مِنْ نَفَقَةٍ فَإِنَّهَا صَدَقَةٌ حَتَّى اللُّقْمَةُ الَّتِي تَرْفَعُهَا إِلَى فِي امْرَأَتِكَ، وَعَسَى اللهُ أَنْ يَرْفَعَكَ فَيَنْتَفِعَ بِكَ نَاسٌ وَيُضَرَّ بِكَ آخَرُونَ وَلَمْ يَكُنْ لَهُ يَوْمَئِذٍ إِلاَّ ابْنَةٌ.

‘Semoga Allah merahmati Ibnu ‘Afra (Sa’d).’ Aku katakan, ‘Wahai Rasulullah, aku berwasiat dengan semua hartaku ?’ Beliau bersabda, ‘Tidak boleh.’ Aku katakan, ‘Separuhnya?’ Beliau bersabda, ‘Tidak boleh.’ Aku katakan, ‘Sepertiganya?’ Beliau bersabda, ‘Ya, sepertiga, dan sepertiga itu banyak, sebab jika engkau meninggalkan ahli warismu dalam keadaan kaya itu lebih baik dari pada meninggalkan mereka dalam keadaan miskin, mereka meminta-minta pada orang lain. (Selain itu, jika engkau hidup) walaupun engkau memberikan hartamu pada keluargamu, akan tetap dihitung sebagai sedekah, sampai makanan yang engkau suapkan pada mulut isterimu. Semoga Allah mengangkat derajatmu, memberikan manfaat kepada sebagian manusia, dan membahayakan sebagian yang lain.’ Pada saat itu Sa’d tidak mempunyai pewaris kecuali seorang anak perempuan.” [2]

Tidak Boleh Berwasiat Untuk Ahli Waris
Dari Abu Umamah al-Bahili Radhiyallahu 'anhu, ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda dalam khutbahnya pada tahun Haji Wada’:

إِنَّ اللهَ قَدْ أَعْطَى كُلَّ ذِي حَقٍّ حَقَّهُ فَلاَ وَصِيَّةَ لِوَارِثٍ.

“Sesungguhnya Allah telah memberikan kepada setiap orang yang memiliki hak akan hartanya. Maka tidak ada wasiat untuk ahli waris.” [3]


Apa Yang Ditulis Di Awal Wasiat
Dari Anas Radhiyallahu 'anhu, ia berkata, “Para Sahabat menulis pada awal wasiatnya:

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ

Berikut ini apa yang akan aku wasiatkan kepada Fulan bin Fulan:

“Hendaklah ia bersaksi bahwa tidak ada ilah yang berhak di-ibadahi dengan benar selain Allah, yang Maha Esa, tidak ada sekutu bagi-Nya, dan bahwa Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya. Dan bahwasanya Kiamat pasti akan datang tanpa keraguan sedikit pun. Dan bahwasanya Allah akan membangkitkan setiap orang yang ada di kubur. Maka hendaknya ia mewasiatkan kepada keluarga yang ditinggalkannya supaya bertakwa kepada Allah, selalu memperbaiki diri, mentaati Allah dan Rasul-Nya jika ia benar-benar beriman. Juga mewasiatkan bagi mereka sebagaimana wasiat Nabi Ibrahim dan Ya’qub kepada anak-anak mereka, ‘Wahai anakku, sesungguhnya Allah telah memilihkan untuk kalian sebuah agama, maka janganlah kalian meninggal kecuali dalam keadaan Islam.’” [4]

Kapan Wasiat Dipindahkan Haknya
Wasiat tidak boleh dipindahkan haknya kepada orang yang diwasiati kecuali setelah orang yang berwasiat meninggal dunia, dan telah dilunasi hutang-hutangnya. Apabila hutangnya melebihi harta peninggalan, maka orang yang diwasiati tidak mendapatkan apa-apa.

Dari ‘Ali Radhiyallahu 'anhu, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan pelunasan hutang sebelum pelaksanaan wasiat. Kalian juga membaca ayat:

مِن بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصَىٰ بِهَا أَوْ دَيْنٍ

‘(Pembagian warisan) setelah (dipenuhi wasiat) yang dibuatnya atau (dan setelah) hutangnya.’” [An-Nisaa': 12] [5]

Peringatan:
Sehubungan dengan kenyataan bahwa pada umumnya masyarakat sekarang adalah berbuat bid’ah pada agamanya, terlebih lagi yang berkaitan dengan urusan jenazah, maka termasuk wajib bagi seorang muslim berwasiat agar jenazahnya diurus dan dimakamkan sesuai dengan Sunnah, berdasarkan firman Allah Ta’ala:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَّا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api Neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya Malaikat-Malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” [At-Tahriim: 6]

Oleh karena itulah para Sahabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berwasiat dengannya. Riwayat yang menjelaskan hal ini sangat banyak, di antaranya:

Dari ‘Amir bin Sa’d bin Abi Waqqash, bahwa ayahnya (yaitu Sa’d) berkata pada saat sakit menjelang ajalnya, “Galilah untukku sebuah lahat, dan pancangkanlah di atasnya sebuah bata (patok), sebagaimana yang di buat untuk Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.” [6]

Peringatan Kedua:
Apabila seseorang mempunyai cabang pewaris yang sudah meninggal ketika ia hidup, maka ia harus berwasiat untuk anak-anak pewaris ini sebanyak apa yang seharusnya menjadi hak mayit atau sesuatu dari hartanya dengan batasan sepertiga. Dan sepertiga adalah banyak. Apabila orang tersebut meninggal, dan tidak berwasiat untuk cucu-cucunya itu, maka mereka diberi bagian yang seharusnya diwasiatkan. Karena ini merupakan hutang atas orang itu, walaupun ia tidak menulisnya. Dan hendaknya sekarang ini pengadilan memberlakukan hal tersebut.

[Disalin dari kitab Al-Wajiiz fii Fiqhis Sunnah wal Kitaabil Aziiz, Penulis Syaikh Abdul Azhim bin Badawai al-Khalafi, Edisi Indonesia Panduan Fiqih Lengkap, Penerjemah Team Tashfiyah LIPIA - Jakarta, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir, Cetakan Pertama Ramadhan 1428 - September 2007M]
_______
Footnote
[1]. Muttafaq ‘alaih: Shahiih al-Bukhari (V/355, no. 2738), Shahiih Muslim (III/1249, no. 1627), Sunan Abi Dawud (VIII/63, no. 2845), Sunan at-Tirmidzi (II/224, no. 981), Sunan Ibni Majah (II/901, no. 2699), Sunan an-Nasa-i (VI/238).
[2]. Muttafaq ‘alaih: Shahiih al-Bukhari (V/363, no. 2742), dan ini lafazhnya, Shahiih Muslim (III/250, no. 1628), Sunan Abi Dawud (VIII/64, no. 2847), Sunan an-Nasa-i (VI/242).
[3]. Shahih: [Shahiih Sunan Ibni Majah no. 2194], Sunan Ibni Majah (II/905, no. 2713), Sunan Abi Dawud (VIII/72, no. 2853), Sunan at-Tirmidzi (III/293, no. 2203).
[4]. Shahih: [Al-Irwaa’ (no. 1647)], ad-Daraquthni (IV/154, no. 16), al-Baihaqi (VI/287).
[5]. Hasan: [Shahiih Sunan Ibni Majah (no. 2195)], [al-Irwaa’ (no. 1667)], Sunan Ibni Majah (II/906, no. 2715), Sunan at-Tirmidzi (III/294, no. 2205).
[6]. Lihat Ahkaamul Janaa-iz, karya Syaikh al-Albani (hal. 8). 

Aqidah Imam Empat





Kumpulan Ilmu Pengetahuan Dan Hiburan

AQIDAH IMAM EMPAT

Oleh
Ustadz Muslim Al Atsari



“Bagilah masjid-masjid antara kami dengan Hanafiyah [1] karena Si Fulan, salah seorang ahli fiqih mereka, menganggap kami sebagai ahli dzimmah! [2]” Usulan ini disampaikan oleh beberapa tokoh Syafi’iyyah[3] kepada mufti Syam pada akhir abad 13 Hijriyah.

Selain itu, banyak ahli fiqih Hanafiyah memfatwakan batalnya shalat seorang Hanafi di belakang imam seorang Syafi’i. Demikian juga sebaliknya, sebagian ahli fiqih Syafi’iyah memfatwakan batalnya shalat seorang Syafi’i di belakang imam seorang Hanafi.

Ini di antara contoh sekian banyak kasus fanatisme madzhab yang menyebabkan perselisihan dan perpecahan umat Islam [4]. Realita yang amat disayangkan, bahkan dilarang di dalam agama Islam. Allah Azza wa Jalla berfirman:

وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللهِ جَمِيعًا وَلاَ تَفَرَّقُوا وَاذْكُرُوا نِعْمَتَ اللهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنتُمْ أَعْدَآءً فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُم بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا

Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai-berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah orang yang bersaudara. [Ali ‘Imran : 103].

Mengapa orang-orang yang mengaku sebagi para pengikut Imam Empat itu saling bermusuhan? Apakah mereka memiliki aqidah yang berbeda? Bagaimana dengan aqidah Imam Empat?

Benar, ternyata banyak di antara para pengikut Imam Empat memiliki aqidah yang menyimpang dari aqidah imam mereka. Walaupun secara fiqih mereka mengaku mengikuti imam panutannya. Banyak di antara para pengikut itu memiliki aqidah Asy’ariyah atau Maturidiyah atau Shufiyah atau lainnya, aqidah-aqidah yang menyelisihi aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Padahal imam-imam mereka memiliki aqidah yang sama, yakni aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah, aqidah Ahli Hadits.

IMAM EMPAT
Istilah Imam Empat yang digunakan umat Islam pada zaman ini, mereka ialah:
1. Imam Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit rahimahullah, dari Kufah, Irak (hidup th 80 H - 150 H).
2. Imam Malik bin Anas rahimahullah, dari Madinah (hidup th 93 H - 179 H)
3. Imam Syafi’i Muhammad bin Idris rahimahullah, lahir di Ghazza, ‘Asqalan, kemudian pindah ke Mekkah. Beliau bersafar ke Madinah, Yaman dan Irak, lalu menetap dan wafat di Mesir (hidup th 150 H - 204 H).
4. Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah dari Baghdad, ‘Irak (hidup th 164 H - 241 H).

Empat ulama ini sangat masyhur di kalangan umat Islam. Kepada empat imam inilah, empat madzhab fiqih dinisbatkan.

AQIDAH IMAM EMPAT
Siapapun yang meneliti aqidah para ulama Salafush Shalih, maka ia akan mendapatkan bahwa aqidah mereka adalah satu, jalan mereka juga satu. Para ulama Salafush Shalih tidak berpaling dari nash-nash Al Kitab dan Sunnah, dan tidak menentangnya dengan akal, perasaan, atau perkataan manusia.

Mereka mempunyai pandangan yang jernih, bahwa aqidah itu tidak diambil dari seorang ‘alim tertentu, bagaimanapun tinggi kedudukannya.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: “Adapun i’tiqad (aqidah, keyakinan), maka tidaklah diambil dariku, atau dari orang yang dia lebih besar dariku. Tetapi diambil dari Allah dan RasulNya, dan keyakinan yang disepakati oleh salaful ummah (umat Islam yang telah lalu, para sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam). Maka apa yang ada di dalam Al Qur’an wajib diyakini. Demikian juga yang hadits-hadits yang shahih telah pasti, seperti Shahih Bukhari dan Shahih Muslim” [5]. Imam Al Ashfahani rahimahullah berkata: “Seandainya engkau meneliti seluruh kitab-kitab mereka (Ahlu Sunnah) yang telah ditulis, dari awal mereka sampai yang akhir mereka, yang dahulu dari mereka dan yang sekarang dari mereka, dengan perbedaan kota dan zaman mereka, dan jauhnya negeri-negeri mereka, masing-masing tinggal di suatu daerah dari daerah-daerah (Islam); engkau dapati mereka dalam menjelaskan aqidah di atas jalan yang satu, bentuk yang satu. Pendapat mereka dalam hal itu (aqidah) satu. Penukilan mereka satu. Engkau tidak melihat perselisihan dan perbedaan pada suatu masalah tertentu, walaupun sedikit. Bahkan seandainya engkau kumpulkan seluruh apa yang lewat pada lidah mereka dan apa yang mereka nukilkan dari Salaf (orang-orang dahulu) mereka, engkau mendapatinya seolah-olah itu datang dari satu hati dan melalui satu lidah”. [6]

Termasuk Imam Empat, mereka berada di atas satu aqidah. Para ulama terkenal dari berbagai madzhab telah menulis aqidah Imam Empat ini, dan mereka semua memiliki aqidah yang sama.

Secara terperinci, aqidah Imam Empat ini antara lain dapat dilihat di dalam kitab Ushuluddin ‘Inda Aimmatil Arba’ah Wahidah, karya Dr. Nashir bin ‘Abdillah Al Qifari, dosen aqidah Universitas Imam Muhammad bin Sa’ud Qashim dan kitab Mujmal I’tiqad Aimmatis Salaf, karya Dr. Abdullah bin Abdul Muhsin At Turki, Rektor Universitas Imam Muhammad bin Sa’ud.

IMAM ABU HANIFAH
Imam Abu Hanifah t berkata: “Aku berpegang kepada kitab Allah. Kemudian yang tidak aku dapatkan (di dalam kitab Allah, aku berpegang) kepada Sunnah Rasulullah n . Jika aku tidak mendapatkannya di dalam kitab Allah dan Sunnah Rasulullah, aku berpegang kepada perkataan-perkataan para sahabat Beliau. Aku akan berpegang kepada perkataan orang yang aku kehendaki, dan aku tinggalkan perkataan orang yang aku kehendaki di antara mereka. Dan aku tidak akan meninggalkan perkataan mereka (dan) mengambil perkataan selain (dari) mereka”. [Riwayat Ibnu Ma’in di dalam Tarikh-nya, no. 4219. Dinukil dari Manhaj As Salafi ‘Inda Syaikh Nashiruddin Al Albani, hlm. 36, karya ‘Amr Abdul Mun’im Salim].

Imam Abu Ja’far Ath Thahawi (wafat 321 H), salah seorang ulama Hanafiyah, menulis sebuah risalah tentang aqidah, yang kemudian terkenal dengan nama “Aqidah Ath Thahawiyah”. Beliau membukanya dengan perkataan: “Ini peringatan dan penjelasan aqidah Ahlis Sunnah wal Jama’ah di atas jalan ahli fiqih-ahli fiqih agama: Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit Al Kufi, Abu Yusuf Ya’qub bin Ibrahim Al Anshari, Abu Abdillah Muhammad bin Al Hasan Asy Syaibani g , dan yang mereka yakini, berupa ushuluddin (pokok-pokok agama), dan cara beragamanya mereka (dengannya) kepada Rabbul ‘Alamin”. [Kitab Aqidah Ath Thahawiyah]

As Subki rahimahullah memberikan komentar terhadap “Aqidah Ath Thahawiyah” dengan perkataan : “Madzhab yang empat ini –segala puji hanya bagi Allah- satu dalam aqidah, kecuali di antara mereka yang mengikuti orang-orang Mu’tazilah dan orang-orang yang menganggap Allah berjisim [7], Namun mayoritas (pengikut) madzhab empat ini, berada di atas al haq. Mereka mengakui aqidah Abu Ja’far Ath Thahawi yang telah diterima secara utuh oleh para ulama dahulu dan generasi berikutnya”. [Ushuluddin ‘Inda Aimmatil Arba’ah Wahidah, hlm. 28, karya Dr. Nashir bin ‘Abdillah Al Qifari].

Penerimaan para ulama terhadap Aqidah Ath Thahawiyah adalah secara umum. Karena ada beberapa perkara yang perlu dikoreksi, sebagaimana hal itu telah dilakukan oleh pensyarah (pemberi penjelasan) Aqidah Ath Thahawiyah, (yaitu) Imam Ibnu Abil ‘Izzi Al Hanafi. Demikian juga oleh para ulama belakangan, seperti Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz dalam ta’liq (komentar) beliau, Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani dalam syarah dan ta’liq beliau, dan Syaikh Dr. Muhammad bin Abdurrahman Al Khumais di dalam Syarh Al ‘Aqidah Ath Thahawiyah Al Muyassar. Namun secara umum, para ulama menerima kebenaran aqidah tersebut.

IMAM MALIK BIN ANAS
Imam Malik bin Anas t dikenal sebagai ulama yang tegas dalam menyikapi bid’ah. Di antara perkataan beliau yang masyhur ialah: “Barangsiapa membuat bid’ah (perkara baru) di dalam Islam (dan) ia menganggapnya sebagai kebaikan, maka ia telah menyangka bahwa (Nabi) Muhammad n telah mengkhianati risalah. Karena Allah Ta’ala berfirman:

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ اْلإِسْلاَمَ دِينًا

Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu dan telah Kucukupkan kepadamu nikmatKu, dan telah Kuridhai Islam itu jadi agamamu. [Al Maidah:3]

Maka apa-apa yang pada hari itu bukan agama, pada hari ini pun tidak menjadi agama”. [8]

Imam Ibnu Abi Zaid Al Qairawani rahimahullah, (wafat 386 H), salah seorang ulama Malikiyah, menulis sebuah risalah tentang aqidah, dan berisi aqidah Ahlu Sunnah, sama dengan aqidah ulama lainnya.

IMAM ASY SYAFI’I
Imam Syafi’I t berkata: “Selama ada Al Kitab dan As Sunnah, maka (semua) alasan tertolak atas siapa saja yang telah mendengarnya, kecuali dengan mengikuti keduanya. Jika hal itu tidak ada, kita kembali kepada perkataan-perkataan para sahabat Nabi n , atau salah satu dari mereka”. [Riwayat Baihaqi di dalam Al Madkhal Ilas Sunan Al Kubra, no. 35. Dinukil dari Manhaj As Salafi ‘Inda Syaikh Nashiruddin Al Albani, hlm. 36].

Dan telah masyhur perkataan Imam Syafi’i rahimahullah : “Aku beriman kepada Allah dan kepada apa yang datang dari Allah (yakni Al Qur’an, Pen), sesuai dengan yang dikehendaki Allah. Aku beriman kepada utusan Allah dan kepada apa yang datang dari utusan Allah (yakni Nabi Muhammad n , Pen), sesuai dengan yang dikehendaki utusan Allah” [9]. Imam Abu Bakar Al Isma’ili Al Jurjani rahimahullah, (wafat 371 H), salah seorang ulama Syafi’iyah, menulis sebuah risalah tentang aqidah. Beliau membukanya dengan perkataan: “Ketahuilah, semoga Allah memberikan rahmat kepada kami dan kalian, bahwa jalan Ahli Hadits, Ahli Sunnah wal Jama’ah, ialah mengakui kepada Allah, malaikat-malaikatNya, kitab-kitabNya, rasul-rasulNya, dan menerima apa yang dikatakan oleh kitab Allah Ta’ala, dan apa yang telah shahih riwayatnya dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam" [10].

IMAM AHMAD BIN HANBAL
Imam Ahmad bin Hambal t berkata: “Pokok-pokok Sunnah menurut kami ialah, berpegang kepada apa yang para sahabat Rasulullah n berada di atasnya, dan meneladani mereka … “ [Riwayat Al Lalikai]

Imam Abu Muhammad Al Hasan bin ‘Ali bin Khalaf Al Barbahari rahimahullah (wafat 329 H), salah seorang ulama Hanbaliyah, menulis sebuah risalah tentang aqidah; aqidah Ahli Sunnah wal Jama’ah, yang bernama Syarhus Sunnah. Di antara yang beliau katakan di awal kitab ini ialah: “Ketahuilah, semoga Allah memberikan rahmat kepadamu. Bahwa agama hanyalah yang datang dari Allah Tabaraka wa Ta’ala (Yang Banyak Memberi Berkah dan Maha Tinggi), tidak diletakkan pada akal-akal manusia dan fikiran-fikiran mereka. Dan ilmunya (agama) di sisi Allah dan di sisi RasulNya. Maka janganlah engkau mengikuti sesuatu dengan hawa-nafsumu, sehingga engkau akan lepas dari agama dan keluar dari Islam. Sesungguhnya tidak ada argumen bagimu, karena Rasulullah n telah menjelaskan Sunnah (ajaran agama/aqidah) kepada umatnya, telah menerangkannya kepada para sahabat Beliau, dan mereka adalah Al Jama’ah. Mereka adalah As Sawadul A’zham (golongan mayoritas). Dan As Sawadul A’zham (yang dimaksudkan) adalah al haq dan pengikutnya. Barangsiapa menyelisihi para sahabat Rasulullah n di dalam sesuatu dari urusan agama, (maka) dia telah kafir”. [11]

KESALAHAN YANG WAJIB DILURUSKAN
Ada beberapa kesalahan yang harus dibenarkan seputar kesatuan aqidah para ulama. Di antaranya:

1. Anggapan bahwa beragamnya madzhab (pendapat yang diikuti) dalam masalah fiqih, berarti beragamnya aqidah para imam.

Anggapan ini batil, sebagaimana telah kami sampaikan tentang kesatuan aqidah para ulama Ahlu Sunnah. Nampaknya, anggapan ini sudah ada semenjak lama. Pada zaman Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah, beliau menampakkan aqidah Salafiyah Ahli Sunnah wal Jama’ah, (tetapi) beliau dituduh menyebarkan aqidah Imam Ahmad bin Hanbal t . Kemudian beliau menjawab: “Ini adalah aqidah seluruh imam-imam dan Salaf (para pendahulu) umat ini, yang mereka mengambilnya dari Nabi n . Ini adalah aqidah Muhammad n “. Lihat Munazharah Aqidah Al Wasithiyah.

2. Anggapan bahwa perbedaan Ahlu Sunnah dengan firqah Syi’ah dan semacamnya dari kalangan Ahli Bid’ah, seperti perbedaan di antara madzhab empat.

Bahkan saat sekarang ini, di negara Mesir muncul lembaga yang disebut Darut Taqrib, dengan semboyan mendekatkan antara Madzhab Enam. Yaitu madzhab Hanafiyah, madzhab Malikiyah, madzhab Syafi’iyah, madzhab Hanbaliyah, madzhab (Syi’ah) Zaidiyah, dan madzhab (Syi’ah) Al Itsna ‘Asyariyah. Lembaga ini menganggap, bahwa madzhab empat yang beraqidah Ahlu Sunnah, sama seperti Syi’ah yang sesat. Padahal telah kita ketahui, sebagaimana kami sampaikan di atas, bahwa aqidah seluruh imam itu satu, yaitu aqidah Ahlu Sunnah wal Jama’ah. Adapun Syi’ah, Rafidhah, maka para ulama telah sepakat bahwa mereka adalah ahli bid’ah.

Setelah kita mengetahui bahwa aqidah Imam Empat sama, yaitu aqidah Ahlu Sunnah wal Jama’ah, bukan aqidah Asy’ariyah, bukan pula aqidah Maturidiyah, maka sepantasnya orang-orang yang menyatakan mengikuti imam-imam tersebut dalam masalah fiqih, juga mengikuti imam mereka dalam masalah aqidah. Dengan begitu mereka akan bersatu di atas al haq. Wallahul Musta’an.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 03/Tahun X/1427H/2006M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondanrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
_______
Footnote
[1]. Hanafiyah, ialah orang-orang yang mengikuti madzhab Imam Abu Hanifah rahimahullah
[2]. Ahli dzimmah, ialah orang kafir yang menjadi warga negara di bawah kekuasaan negara Islam
[3]. Syafi’iyyah, ialah orang-orang yang mengikuti madzhab Imam Syafi’i rahimahullah
[4]. Lihat Tarikh Fiqih Islami, hlm. 171-176, karya Dr. Umar Sulaiman Al Asyqar.
[5]. Lihat Majmu’ Fatawa (3/161).
[6]. Lihat Al Hujjah Fi Bayanil Mahajjah (2/224-225). Dinukil dari kitab Ushuluddin ‘Inda Aimmatil Arba’ah Wahidah, hlm. 73, karya Dr. Nashir bin ‘Abdillah Al Qifari.
[7]. Yakni menyerupakan sifat Allah dengan sifat makhluk, Pen
[8]. Al I’tisham (1/64), karya Asy Syatibi.
[9]. Majmu’ Fatawa (4/2).
[10]. I’tiqad Aimmatil Hadits Lil Imam Abi Bakar Al Isma’ili , hlm. 49, karya, tahqiq: Dr. Muhammad bin Abdurrahman Al Khumais.
[11]. Syarhus Sunnah, hlm. 68, no. 5, karya Imam Al Barbahari, tahqiq Abu Yasir Khalid bin Qasim Ar Radadi.